Rencana Tuhan memang skenario terbaik, meski butuh waktu menyadarinya. Lewat Kompas, Sang Pencipta melimpahkan rezeki, termasuk mempertemukan saya dengan kekasih di daerah yang tak pernah terduga sebelumnya: pantai utara Jawa Barat.
Saya diterima di Kompas tahun 2014 sebagai calon wartawan (cawar). Untuk menjadi wartawan di koran yang lahir pada 1965 itu, cawar harus melalui proses pelatihan dan praktik sekitar setahun. Salah satu pengalaman yang tak terlupakan adalah ketika saya ditugaskan naik bus dari Jakarta ke Brebes, Jawa Tengah, untuk liputan Lebaran 2015.
Sebagai anak yang tumbuh di Makassar, Sulawesi Selatan, saya “buta” tentang mudik di Jawa. Mungkin soal kemacetan, seperti terlihat di televisi. Ini kesempatan belajar yang menegangkan. Apalagi, saya diminta naik bus ekonomi yang didempul sekenanya dan berusia 15 tahun. Tak ada kesan nyaman.
Selain kepanasan, pedagang asongan yang rada memaksa, dan bosan menanti berjam-jam, saya juga tak akan lupa ketika bus berhenti di Kabupaten Indramayu, Jabar, malam hari. Sejumlah pemuda yang mengamen membangunkan saya dari tidur. “Kami hanya mencari makan, tidak ingin mencopet…,” seru mereka sebelum menadahkan plastik bungkus permen untuk diisi uang.
Tadinya, saya kira pengalaman di pantura (Cirebon dan Indramayu) hanya sambil lalu dalam hidup, seperti perjalanan di bus tempo hari. Ternyata, tidak. September 2015, setelah menjadi wartawan,Kompas menugaskan saya untuk wilayah Cirebon, termasuk Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Jangankan mengenalnya, mendengar beberapa nama daerah itu saja tidak pernah.
Apalagi, ketika lolos seleksi, beredar kabar saya bakal ditempatkan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ya, masih ada rumpun dengan Makassar, Sulawesi Selatan. Setidaknya, untuk berkomunikasi bahasanya masih banyak yang selaras. “Cirebon itu sama dengan Makassar, kok, daerah pantai,” ucap Mas TRA, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas saat itu.
Ungkapan Mas TRA tidak keliru. Cirebon mengingatkan akan Pare Pare, kota kecil kelahiran saya di Sulawesi Selatan. Daerahnya di pesisir pantai, punya pelabuhan, jadi tujuan daerah tetangga, dan lainnya. Saya beruntung karena masih sempat belajar dari Mbak REK, jurnalis di Cirebon. Termasuk ikut sepeda motornya yang tak muda lagi.
Perlahan, saya kerasan dengan pantura. Terlebih ketika berjumpa dengan seorang perempuan jurnalis asal Indramayu. Kali pertama kami bertemu saat penangkapan terduga teroris di Indramayu. Perempuan bertubuh mungil dan mata bulat itu hanya sibuk memandang layar gawai sembari mengetik. Mungkin dia tak menyadari kehadiran saya yang memang tak penting.
Entah bagaimana mulanya, kami mulai saling kenal. Kadang, ia mencari tumpangan dengan dalih mengajak saya liputan. Kasmaran membuat jarak Cirebon–Indramayu, sekitar 100 kilometer untuk pulang pergi, terasa dekat. Saya pun kerap meminta bantuannya untuk menerjemahkan hasil wawancara dengan petani atau nelayan. Maklum, saya hanya tahu bahasa Indramayu punten (permisi) dan matur kesuwun (terima kasih).
Singkat cerita, kami berdua sepakat menerjemahkan arti hidup melalui ikatan pernikahan. Saya mulai menyadari kepingan momen, mulai dari pengamen bus yang mengganggu tidur di Indramayu hingga penugasan di Cirebon yang kini berjalan tujuh tahun. Saya mulai memahami, Allah SWT sudah memberi penanda bahwa hati ini tertambat di pantura.
Dengan segala kekurangan diri ini, saya teringat kata salah satu pendiri Kompas, Pak Jakob Oetama: syukur tiada akhir. Sehat selalu untuk kita semua.