Tepat lima tahun yang lalu, menjadi masa perubahan yang tidak pernah terpikirkan oleh saya. Dari yang awalnya keliling dari satu perusahaan ke perusahaan lain atau satu kawan ke kawan lainnya demi mencari orderan desain grafis, foto, video, atau naskah dan konsep company profile, tiba-tiba mendapatkan panggilan menjadi wartawan di Harian Kompas atau yang lebih dikenal dengan koran Kompas. Sebuah perusahaan media massa yang tak asing di telinga masyarakat Indonesia.
Saat itu saya tidak berharap banyak bisa diterima di Kompas. Sebelumnya, pernah sekali melamar sebagai desainer grafis, tetapi tidak pernah mendapatkan panggilan. Antara bingung dan senang menjadi satu. Sebab, ada satu bagian yang harus ditandai pada formulir pendaftaran yakni pertanyaan apakah akan menikah dalam dua tahun awal.
Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut karena saat itu saya sudah bertunangan dan membuat undangan pernikahan pada tanggal 1 Juli 2017. Sudahlah, tandai saja. Kalau tidak diterima, ya mungkin belum rezekinya di Kompas. Pikir saya saat itu.




Mulai dari kesalahan dalam melihat ijazah kelulusan yang dikira lulusan Bahasa Jerman di UNJ, padahal saya sudah drop out 10 tahun sebelumnya dan lulus dari jurusan Desain Komunikasi Visual di IKJ. Lalu, pewawancara yang tidak mempertanyakan klausul akan menikah dalam dua tahun awal, mengerjakan tes bahasa Inggris paling terakhir karena lama bergulat dengan gambar daripada teks, hingga tes kesehatan yang harus diulang. Akhirnya, saya dapat melewati tiap tahap tes dan diterima menjadi wartawan Kompas.
Hari yang paling saya takuti pun tiba, 30 Juni 2017 atau satu hari sebelum pernikahan sampai saya lupa bahwa hari itu saya ulang tahun. Meskipun sudah mendapatkan izin dari Diklat untuk menikah keesokan harinya, tetapi hari itu saya tetap harus liputan dari pagi di Jakarta. Sampai sore, hari itu berjalan seperti rencana. Saya akan pulang, lalu persiapan ke bandara menuju Yogyakarta.
Sesuatu yang terasa lancar itu tiba-tiba berubah seketika saat Mas Gesit yang saat itu menjadi kepala desk Metropolitan menanyakan jam keberangkatan pesawat ke Jogja. Saya mengatakan, pesawat berangkat pukul 5 pagi. Saat itu juga sekitar pukul 8 malam, Mas Gesit meminta saya liputan dua anggota kepolisian yang diserang usai menjalankan ibadah shalat Isya di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru, yang terletak di seberang Lapangan Bhayangkara, Markas Besar Polri, Jakarta.
Tak bisa dipungkiri, perasaan manusiawi seperti emosi, marah, bingung, dan takut menjadi satu. Namun, saya tetap harus menjalaninya dengan ikhlas. Dan, keikhlasan itu yang membuat segalanya berjalan lancar seperti semesta memberikan dukungan. Setelah selesai konferensi pers pukul 23.30, saya bergegas mengirimkan tulisan secepat mungkin ke Mas Gesit, lalu pulang ke kontrakan di Tebet, Jakarta Selatan dan segera ke bandara Soekarno-Hatta.
Setelah hampir satu jam mencari taksi dan tak kunjung dapat, tiba-tiba seorang pemabuk yang dalam keadaan setengah sadar karena pengaruh alkohol menghampiri dan menawarkan tumpangan. Sulit dipercaya, dia hanya meminta Rp 10.000 dan mengantarkan saya sampai mendapatkan taksi. Perjalanan sampai ke Jogja pun berjalan lancar hingga saya dapat mengikuti upacara pernikahan, meskipun beberapa kali ketiduran karena badan sudah sangat kelelahan.
Ada banyak pengalaman tak diduga selama menjadi wartawan di Kompas yang tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Perasaan campur aduk pun selalu hadir hampir setiap hari. Itu membuat hidup menjadi lebih berwarna. Rasa lelah pun seringkali terlupakan oleh kejutan-kejutan yang tiba-tiba muncul. Pekerjaan sebagai wartawan pun seperti sulit dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari.