Sebuah video perpisahan muncul di linimasa media sosial saya sore tadi. Seorang pilot menyampaikan pada penumpang bahwa kali itu akan jadi penerbangannya yang terakhir.
Rekaman ini memantik ingatan saya pada betapa seringnya saya ingin berpisah dengan Kompas. Sekaligus mengingatkan pada betapa seringnya niat itu termentahkan.
Saya masih tidak bisa menolak.. rasa berdebar tiap kali ditugaskan untuk menghampiri keberagaman di negeri ini.
Saya masih tidak bisa meninggalkan.. sensasi bergidik ketika tangan tak mampu mengimbangi adrenalin untuk menulis.
Kompas mengajarkan saya bahwa bekerja itu bermakna karya. Tiap laku dan langkah akan menjelma jadi karya berisi pengetahuan. Saya menemukan diri sebagai pekerja sekaligus pembelajar dalam satu kesatuan. Saya ragu tak menemukan kombinasi asik ini di tempat lainnya.
Jika hati diperkenankan mengambil bagian dalam narasi ini, maka bekerja di Kompas pun terasa seperti memeroleh privilese. Sebuah hak istimewa untuk ikut memetakan tantangan yang sedang dihadapi negeri ini. Sebuah hak spesial untuk berada di tengah rekan kerja yang mau duduk bersama sebagai keluarga.
Tujuh tahun bekerja di Kompas, separuh memori saya terisi oleh kehangatan keluarga di Litbang Kompas. Asah, Asih, dan Asuh menjadi tiga mantra yang memperkuat aspek yang dibutuhkan untuk menjadi seorang profesional.
Jika saya masih kurang sering mengatakannya..maka unggahan ini secara sungguh saya dedikasikan untuk menyatakan terima kasih kepada @hariankompas.
Terima kasih Kompas, kampus terbaikku. Terima kasih warga Kompas, keluarga terkasihku.
Selamat ulang tahun hai pelita negeri, tetap menyala walau angin mengendap-endap ingin kau mati.