Saat jadwal wisuda di kampus bentrok dengan masa diklat calon wartawan harian Kompas, saya memilih mengikuti diklat di harian Kompas. Sementara wisuda dirayakan dengan cara berbeda. Saya dan teman-teman calon wartawan harian Kompas menggelar pesta kecil di mes Kompas.
Saya dan teman-teman dari berbagai provinsi di Tanah Air (Tajuk 2012) yang lolos seleksi awal, berkumpul di Jakarta untuk memasuki masa diklat di tahun 2012. Kami pun siap mengikuti rutinitas calon wartawan harian Kompas.
Setiap pagi saat tiba di ruang diklat, kami yang berjumlah 15 orang membaca Kompas. Setelah itu, kami membuat ringkasan dari berita yang dibaca. Berbagai latihan pun dijalani, salah satunya berlatih membuat lead berita.
Di sela-sela diklat, saya mulai terpikir bahwa beberapa minggu lagi akan mengikuti seremonial wisuda di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Namun pada prinsipnya, studi saya sudah rampung dan hanya menunggu wisuda yang sebetulnya seremonial itu boleh diikuti boleh tidak oleh mahasiswa.
Sebelumnya saya sudah mendaftar untuk mengikuti wisuda dan kedua orangtua saya akan ke Yogyakarta menghadiri wisuda tersebut. Ibu saya juga sudah mempersiapkan baju untuk digunakan saat seremonial wisuda nanti.
Dalam bayangan saya waktu itu, ketika mengikuti wisuda saya akan berfoto bersama kedua orangtua menggunakan busana khas wisuda dengan selempang bertuliskan Cum Laude. Foto itu akan menjadi salah satu momen berkesan dalam keluarga.
Namun, jadwal wisuda bentrok dengan jadwal diklat calon wartawan harian Kompas. Saya mulai berpikir untuk membicarakan hal itu dengan para pengajar, khususnya Mas Hariadi Saptono dan Mas Tony Widiastono selaku Manager Diklat.
Pada suatu sore, saya menghadap Mas Hariadi dan Mas Tony di salah satu ruangan. “Mas, saya beberapa minggu lagi akan wisuda ke Yogya. Bagaimana ya? Apakah boleh izin untuk mengikuti wisuda?” ujar saya.
“Kami bicarakan dulu ya Ed,” ujar Mas Tony waktu itu yang duduk bersebelahan dengan Mas Hariadi.
Saya pun kembali ke ruang kelas menunggu sesi pembelajaran selanjutnya. Kelas selanjutnya, Mas Hariadi masuk ke kelas. “Sekarang kalian sudah menjadi calon wartawan harian Kompas. Kalian akan menemukan banyak hal yang penting di lapangan nanti. Namun dari hal-hal yang penting itu, kalian harus bisa menemukan mana yang pokok,” kata Mas Hariadi.
“Dari kedua hal itu (hal yang penting dan yang pokok), mana yang harus kalian prioritaskan?” kira-kira seperti itu yang saya ingat saat Mas Hariadi bertanya kepada kami.
“Yang pokok yang harus diprioritaskan,” ujar kami di kelas waktu itu.
“Sekarang saya mau bertanya kepada Edi. Jika ada dua hal yang saya suguhkan kepada kamu, yaitu mengikuti wisuda di Yogya atau mengikuti diklat calon wartawan Kompas. Mana yang penting dan mana yang pokok?” tanya Mas Hariadi.
“Mengikuti diklat calon wartawan harian Kompas, itu yang pokok Mas,” ujar saya segera setelah Mas Hariadi melontarkan pertanyaan.
“Yakin itu yang pokok?” tanya Mas Hariadi sekali lagi.
“Yakin Mas. Mengikuti diklat calon wartawan harian Kompas itu yang pokok,” ujar saya.
“Oke. Kamu sendiri yang mengatakan itu ya,” kata Mas Hariadi sembari tersenyum.
“Siap Mas,” ujar saya. Setelah itu, kami melanjutkan proses belajar.
Ketika pulang ke mes, saya menghubungi orangtua untuk memberi tahu mereka bahwa saya tidak akan mengikuti wisuda di kampus. Saya akan tetap mengikuti proses diklat calon wartawan harian Kompas hingga akhir, tanpa terputus. Saya juga memberi tahu pihak kampus bahwa saya tidak mengikuti wisuda karena sudah masuk proses diklat di Kompas.
Pertanyaan Mas Hariadi itu saya renungkan kembali di mes. Saya semakin yakin dengan pilihan saya. Toh, pada akhirnya saya juga akan memasuki dunia kerja. Apalagi seremonial wisuda itu tidak wajib.
Di hari wisuda, saya dihubungi salah satu dosen memastikan kembali apakah saya mengikuti wisuda atau tidak. Saya kembali mengatakan bahwa tidak mengikuti wisuda. “Baik Nak. Selamat mengikuti diklat ya,” demikian ucapan dosen saya waktu itu melalui handphone.
Pesta kecil
Saya dan teman-teman calon wartawan “Kompas Tajuk 2012” pun merayakan wisuda saya di mes. Meskipun saya tidak bisa merayakan seremonial itu di kampus, namun tetap bisa Meraya Annya dengan cara lain.
Kami membeli martabak manis, pecel lele, dan cemilan lainnya. Kami duduk di lantai ruang tamu mes, lalu makan bersama. Teman-teman juga menyiapkan pakaian khusus untuk saya dengan membuat pakaian wisuda dari koran Kompas.
Seusai santap malam bersama, saya diminta berdiri di salah satu sudut dengan menggunakan pakaian wisuda dari koran Kompas. Satu per satu teman-teman menyalami saya. Bahkan salah satu teman memindahkan tali topi wisuda (dari koran) di kepala saya bak wisuda sungguhan di kampus.
Suasana itu bahkan selalu terpatri dalam pikiran saya. Saya merasakan mereka tidak hanya sekadar teman seangkatan di harian Kompas, melainkan juga keluarga sekaligus kakak bagi saya. Seorang teman bahkan ada yang memanggil saya dengan sebutan “bungsu”.
Momen itu bahkan sempat terlontar kembali dari Mas Hariadi saat pertemuan regional di Bandung, Jawa Barat, sekitar tiga atau empat tahun silam. Sebelum pertemuan itu saya sempat berbincang dengan Beliau.
“Seandainya waktu itu kamu memilih ikut wisuda di kampus, kamu sudah saya coret dari diklat wartawan Kompas,” kata Mas Hariadi dengan senyum yang khas sembari memeluk pundak saya lalu kami menaiki tangga menuju ruang pertemuan.
Mas Hariadi telah berpulang menghadap Bapa di Surga Rabu (4/5/2022) lalu. Namun perihal “yang penting” dan “yang pokok” itu selalu melekat dalam pikiran saya. Demikian juga kejutan dari rekan-rekan seangkatan di Kompas malam itu. Bahkan, dalam tugas jurnalistik sehari-hari saya masih bergulat dengan perihal “yang penting” dan “yang pokok”.