Sinyal telekomunikasi di kampung yang terbatas membuat saya harus mencari sinyal ke berbagai lokasi, bahkan untuk sekadar memastikan lamaran kerja direspons perusahaan atau tidak. Setitik sinyal di jendela rumah waktu itu menjadi langkah awal berkarier menjadi jurnalis harian Kompas.
Pada tahun 2012 saya telah menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kala itu, masih ada jeda waktu cukup lama menunggu jadwal wisuda.
Saat menunggu jadwal wisuda, saya berencana pulang kampung ke Kalimantan Barat. Saya akan kembali lagi ke Yogyakarta bersama kedua orangtua saat momen wisuda. Sebelum pulang ke Kalimantan Barat, saya mengirim lamaran ke harian Kompas yang kebetulan membuka lowongan kerja. Harapan saya ketika selesai wisuda, saya sudah bekerja. Berkas lamaran pun segera saya kirim sebelum pulang kampung.
Setelah berkas lamaran dipastikan terkirim, saya pulang menuju tanah kelahiran di Desa Batu Mas, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, sekitar 500 km dari Pontianak. Dari Yogyakarta saya menggunakan trevel menuju Semarang, Jawa Tengah.
Dari Semarang, kala itu saya menggunakan pesawat terbang sekitar satu jam menuju Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, untuk transit. Setelah itu, saya melanjutkan penerbangan sekitar 30 menit menuju kota Ketapang, ibu kota Kabupaten Ketapang.
Dari kota Ketapang saya masih harus melanjutkan perjalanan menuju kampung mengendarai sepeda motor dengan waktu tempuh berkisar dua hingga tiga jam, mulai dari melintasi jalan beraspal mulus, ada juga aspal terkelupas hingga beberapa lokasi berlumpur, barulah tiba di kampung halaman.
Setelah beberapa hari di kampung, saya mulai terpikir tentang nasib lamaran saya di harian Kompas. Sinyal di kampung terbatas, hanya bisa ditemukan di susut-sudut tertentu. Bahkan, saat masih kuliah jika ingin mengetahui nilai ujian, saya harus menuju dataran tinggi di ujung kampung mencari sinyal menghubungi rekan di Yogyakarta menanyakan nilai hasil ujian semester.
Saat libur semester, biasanya anak-anak pedalaman Kalimantan cukup banyak yang pulang kampung termasuk saya. Maka ketika ingin mengetahui informasi terkait kampus akan menghubungi rekan di Yogyakarta.
Begitu pula saat ingin mengetahui nasib lamaran kerja harus mencari sinyal handphone di berbagai sudut. “Jangan-jangan pihak Kompas menelepon saya, tetapi handphone saya tidak bisa dihubungi karena tidak ada sinyal,” dalam hati saya waktu itu.
Saat itu, lokasi di kampung yang terdapat sinyal hanya di beberapa lokasi. Selain di dataran tinggi ujung kampung, juga ada di jendela rumah saya. Itu pun tidak semua handphone bisa menangkap sinyal. Bahkan, sinyal ada kalanya hilang dan baru muncul beberapa hari kemudian.
Sekadar mengirim pesan singkat saja sulit, apalagi menelepon. Pesan singkat yang kita kirim hari ini, bisa saja tidak langsung terkirim dan baru terkirim beberapa hari kemudian saat sinyal pulih atau muncul beberapa titik.
Saya mencoba meletakkan handphone di jendela rumah siapa tahu sinyal sedang bersahabat. Saya mulai “menyetting” menu di handphone mulai dari operasi secara manual hingga otomatis untuk menangkap sinyal. Namun, sinyal tak kunjung muncul.
Sesekali titik sinyal muncul satu atau dua garis di handphone, setelah itu hilang lagi. Saat sinyal sesekali muncul, tidak ada tanda-tanda “panggilan tidak terjawab”. Pesan singkat pun tidak ada yang masuk.
Saya terus mencari sinyal dari satu titik ke titik lain di jendela rumah. Namun, tak kunjung mendapat sinyal yang baik. Kemudian handphone saya tempatkan di satu titik, sembari saya tinggal ke dapur untuk menyeduh teh. Saya berharap saat saya kembali, sinyal baik akan muncul.
Berjam-jam saya menunggu sinyal, namun tidak muncul sinyal yang baik. Bahkan, sekadar satu titik pun tidak muncul. “Kalau sampai ada pihak Kompas menghubungi saya sinyal masih seperti ini, saya akan kehilangan kesempatan bekerja,” tutur saya dalam hati.
Menjelang sore
Menjelang sore sinyal tak kunjung datang. Ibu saya akhirnya menyarankan saya mencari sinyal di rumah keluarga di kampung yang berjarak sekitar 5 km dari kampung saya, tepatnya di Desa Pateh Benteng.
“Kamu coba saja di rumah bibimu, biasanya di sana ada sinyal,” ujar Ibu kala itu.
Saya menuju desa tersebut menggunakan sepeda motor. Perjalanan menuju ke desa tempat tinggal Bibi melintasi 4 (empat) kampung. Jarak antarkampung tidak terlalu jauh. Di setiap ujung kampung terdapat permakaman berbentuk rumah kecil dengan ukiran berbentuk naga di atas atap tiap makam. Lintasan seperti itu bagi warga di sana sudah biasa.
Ketika tiba di sana, saya berjumpa dengan bibi yang sedang berada di rumah. “Saya mau mencari sinyal. Di mana titik sinyal di sini?,” ujar saya.
“Coba letakkan handphone-mu di jendela samping pintu. Biasanya sinyal di situ lumayan bagus,” jawab bibi.
Entah mengapa, titik sinyal di rumah Bibi juga di jendela. Apakah jendela itu merupakan “jendela” menuju masa depan? Paling tidak jendela untuk menemukan sinyal terlebih dulu untuk mengetahui nasib lamaran kerja.
Sinyal mulai muncul beberapa garis. Pesan singkat yang baru masuk pun bermunculan. Harapan mulai muncul. Tak lama kemudian, terdapat nomor telepon dengan kode wilayah DKI Jakarta menghubungi saya.
“Jangan-jangan telepon dari Kompas,” ujar saya.
Saya mengangkat telepon itu. Ternyata memang benar, yang menghubungi saya adalah pihak Kompas. Suara di handphone waktu itu juga terkadang bergema dan putus-putus, namun substansi pembicaraan masih bisa dimengerti. Saat itu saya diberi tahu bahwa berkas lamaran saya sudah diterima dan tahap selanjutnya adalah tes wawancara.
Saya diminta ke Pontianak mengikuti tes wawancara sekitar seminggu setelah itu. Saya pun beberapa kali bolak-balik ke Pontianak mengikuti rangkaian tes mulai dari wawancara hingga psiko tes. Puji Tuhan semuanya bisa dilalui.
Setelah semua rangkain tes selesai, saya menunggu di kota Ketapang untuk menunggu pengumuman selanjutnya. Saya menunggu di ibu kota kabupaten agar mendapatkan sinyal berkualitas termasuk bisa membuka surat elektronik (email). Kemudian, lebih mudah menjangkau Pontianak, dengan jalur udara.
Setelah rangkain tes itu, tibalah pada tes kesehatan. Saya bergegas ke Pontianak untuk tes kesehatan. Setelah tes kesehatan selesai, muncul email dari Kompas bahwa saya lolos dan harus berada di Jakarta November 2012 guna mengikuti pendidikan calon wartawan harian Kompas.
Jika sinyal di jendela rumah tidak muncul, mungkin saya akan kehilangan kesempatan bekerja di Kompas. Sinyal di jendela waktu itu menjadi “jendela” menuju masa depan.